Mengenal Agama Hindu Dan Budha


BAB 1
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Agama dan kebudayaan Hindu dan Buddha masuk ke Indonesia (Nusantara) dari India masing-masing sekitar abad ke-4 dan ke-5 M. Agama dan kebudayaan Islam muncul belakangan (abad ke-7 M), dan baru berkembang pesat mulai sekitar abad ke-13 M.
Pengaruh Hindu di Indonesia berlangsung hampir selama sebelas abad, yaitu dari abad ke-4 (yang dibuktikam melalui prasasti di Kutai) sampai berakhirnya kekuasaan Majapahit di Jawa Timur sekitar abad ke-15. Agama Buddha masuk ke Nusantara seabad kemudian, yaitu sekitar abad ke-5. Hal ini didukung dengan temuan patung Buddha dari perunggu di Sampaga (Sulawesi Selatan), Jember (Jawa Timur), dan Bukit Siguntang (Sumatra Selatan).
Sebelum kedatangan Hindu-Buddha, penduduk yang mendiami Indonesia menganut animisme dan dinamisme. Kedatangan Hindu-Buddha ikut memengaruhi tatanan sosial-budaya, politik, dan ekonomi Nusantara. Meski demikian, sebagian unsur dari kebudayaan lama (asli), sejauh tidak bertentangan dengan doktrin dasar agama Hindu-Buddha, tetap dipertahankan. Itulah juga yang membentuk agama dan kebudayaan Hindu-Buddha yang memiliki ciri khas Indonesia. Peran kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha di Indonesia sangat penting dalam proses integrasi dan/atau akulturasi dengan kebudayaan lokal Indonesia itu.
Oleh karena itu, meski mengalami kemunduran sejak abad ke-15 pengaruh Hindu-Buddha tidak seluruhnya hilang dari Indonesia. Sampai sekarang kita masih dapat menjumpai banyak tradisi Hindu dan Buddha yang sudah berakulturasi dengan tradisi lokal yang masih hidup dengan dukungan masyarakat.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa saja fase-fase perkembangan agama Hindu di India?
2.      Apa itu agama Buddha dan bagaimana sejarah lahirnya agama Buddha?

C.     TUJUAN
1.      Menjelaskan fase-fase perkembangan agama Hindu di India yang diawali dengan zaman Weda, zaman Brahmana, zaman Upanisad, dan zaman Buddha. Serta isi kitab-kitab dari masing-masing zaman.
2.      Menjelaskan pengertian dari apa itu agama Buddha dan awal munculnya agama Buddha.



BAB 2
PEMBAHASAN

2.1  Agama Hindu
Asal usul agama Hindu di dunia dimulai dari masuknya Bangsa Arya ke India sejak 1500 SM. BAngsa Arya adalah bangsa nomaden yang masuk India dari Asia Tengah melalui Selat Kaiber. Masuknya Bangsa Arya ke India membawa perubahan yang sangat besar dalam tata kehidupan masyarakat India. Perubahan tersebut terjadi karena Bangsa Arya mengadakan integrasi kebudayaan dengan Bangsa Dravida, penduduk asli India dan termasuk dalam kategori ras Australoid, ke sebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi percampuran antara kebudayaan orang Arya dan Bangsa Dravida, yang menghasilkan kebudayaan  Hindu.
Bangsa Arya mulai menulis kitab-kitab suci Weda. Kitab suci ini dituliskan dalam 4 bagian seperti Reg Weda, Sama Weda, Yayur Weda, dan Atharwa Weda. Peradaban dan kehidupan bangsa Hindu jelas terdapat juga dalam kitab Brahmana atau dalam kitab Upanisad. Ketiga kitab inilah yang menjadi dasar pemikiran dan dasar kehidupan orang-orang Hindu.

1.1.1  FASE-FASE PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI INDIA

Perkembangan agama Hindu  di India dapat dibagi menjadi empat fase, yakni zaman Weda, zaman Brahmana, zaman Upanisad, dan zaman Buddha.

a.     Zaman Weda (1500 SM)
Agama Weda
Agama Weda dapat dikatakan suatu agama alam. Artinya, didalam mendekati dan menyelami hal kedewaan, agama itu sangat mengarahkan pandangannya kepada alam. Berbagai dewa dianggap identik dengan gejala-gejala alam.
Kata Weda berarti pengetahuan (Wid = tahu). Menurut tradisi Hindu, kitab-kitab ini adalah ciptaan Dewa Brahma sendiri. Isinya diwahyukan oleh Dewa Brahma kepada para resi atau para pendeta dalam bentuk mantra-mantra, yang kemudian disusun sebagian puji-pujian oleh para resi tersebut sebagai pernyataan rasa hatinya.

Unsur-unsur dasar agama Weda :
1.       Percaya dan takut kepada daya-daya kekuasaan
2.       Ritus untuk mempengaruhi daya-daya kekuasaan
3.       Kesadaran akan adanya tata tertib kosmos
4.       Kecenderungan kepada mistik

Zaman Weda, dimulai ketika Bangsa Arya berada di Punjab di lembah Sungai Sindhu atau Indus sekitar 2500 s.d 1500 tahun SM, setelah mendesak Bangsa Dravida ke sebelah selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. Di sini belum banyak terdapat penyesuaian diri dengan peradaban India purba. Bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi. Mereka menyembah dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa, dan sebagainya. Dewa tertinggi yang mereka anggap sebagai penguasa alam semesta disebut Tri Murti, yang terdiri dari: Brahma (pencipta alam), Wisnu (pemelihara alam), dan Siwa (dewa perusak alam dan dewa kematian). Walaupun banyak, semuanya merupakan manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Esa (disebut Brahman). Jadi, agama Hindu adalah agama monoteistis, bukan politeistis.
Kitab suci Weda, kitab suci agama Hindu, muncul pada zaman ini. Weda termasuk dalam golongan Sruti, secara harfiah berarti “yang didengar”, karena umat Hindu meyakini isi Weda sebagai kumpulan wahyu dari Brahman (Tuhan).
Pada zaman ini pula, terdapat perubahan corak kehidupan di India. Corak kehidupan masyarakat Hindu tersebut dibedakan atas 4 kasta, di ataranya:
1.      Brahmana (keagamaan = ulama/pendeta),
2.      Ksatria (pemerintahan = raja, bangsawan, panglima, dan tentara),
3.      Wacyd/Waisya (pertanian dan perdagangan = pedagang, petani, dan nelayan),
4.      Sudra/Cudra (kaum pekerja kasar = pelayan semua golongan di atasnya).

Ada pula orang-orang yang dianggap berada di luar kasta, yaitu golongan Paria (pengemis dan gelandangan).
Kepercayaan Bangsa Hindu bersifat politeisme (memuja banyak dewa). Di dalam pemujaan terhadap dewa itu sering dibuatkan patung-patung yang disesuaikan dengan peranan dewa tersebut di dalam kehidupan manusia. Patung-patung itu merupakan simbol dari dewa-dewa yang disembahnya seperti misalnya Dewa Brahma sebagai Dewa Pencipta, Dewa Wisnu sebagai Dewa Pelindung, dan Dewa Siwa sebagai Dewa Pelebur atau Pembinasa. Ketiga dewa itu diberi nama Tri Murti. Tri Murti sendiri berarti yang Maha Kuasa. Sedangkan dewa-dewa lainnya yang dipuja seperti Dewi Saraswati sebagai Dewi Kesenian dan Ilmu Pengetahuan, Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan, dan lain sebagainya.
Umat Hindu beranggapan bahwa tempat suci adalah tempat bersemayamnya para dewa, sehingga umat Hindu terbiasa mengadakan ziarah ke tempat-tempat suci untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi umat di dunia. Umat Hindu berziarah ke tempat-tempat suci seperti Kota Benares, sebuah kota yang dianggap sebagai kota tempat bersemayamnya Dewa Pelabur (Dewa Siwa). Di samping itu, Sungai Gangga juga dianggap suci dan keramat oleh umat Hindu. Menurut kepercayaan merka, air dari Sungai Gangga akan dapat menyucikan segala dosa betapapun besarnya. Begitu pula tulang dan abu orang mati yang sudah dibakar dibuang ke dalam Sungai Gangga, agar orang yang meninggal masuk ke dalam surga.
Sejak zaman dahulu, orang memberi penghargaan yang istimewa terhadap pengasingan diri untuk bermeditasi (bersemadi). Pengetahuan yang didapat seseorang dari meditasi, dianggap sesuatu yang lebih tinggi daripada pengetahuan yang dicapai dengan akal. “Meleburkan diri dalam daya-daya kekuasaan dan menjadi satu dengan daya-daya kekuasaan tersebut” diusahakan dengan bermacam-macam cara. Maka disebutlah orang yang tajam tiliknya para resi, yang dengan jalan demikian dapat mengetahui rahasia-rahasia dunia, hidup, dan rahasia-rahasia ritus persembahan.
Sebagai wahyu dewa yang tertinggi, maka Weda-weda itu disebut sruti, yang secara harfiah berarti apa yang didengar, yaitu didengar dewa yang tertinggi. Orang Hindu yakin, bahwa Kitab-kitab Weda adalah napas Tuhan, kebenaran yang kekal, yang dinyatakan atau diwahyukan oleh Tuhan kepada para resi. Para resi tadi melihat atau mendengar kebenaran itu. Bentuk yang diwahyukan tadi adalah mantra-mantra.
Sesudah dibukukan, mantra-mantra itu dibagi menjadi 4 bagian atau pengumpulan (samhita), yaitu :
a.       Reg-Weda, berasal dari kata “Rig” yang berarti “memuji”, kitab ini berisi 1000 mantra dalam bentuk puji-pujian kepada para Dewa dalam bentuk kidung agar berkenan hadir pada upacara-upacara kurban yang akan diadakan bagi mereka, dan masing-masing kidung (sukta) terbagi lagi dalam beberapa bait. Imam-imam atau pendeta yang mengadakan puji-pujian ini disebut Hort.
b.      Sama-Weda, hampir seluruh isinya diambil dari Reg-Weda, kecuali beberapa nyanyian. Perbedaannya dengan Reg-Weda ialah puji-pujian di sini diberi lagu (Sama = lagu). Imam atau pendeta yang menyanyikan Sama-Weda disebut Udgatr. Menyanyikannya pada waktu kurban dipersembahkan.
c.       Yajur-Weda, berisi yajus atau rapal, diucapkan oleh imam atau pendeta yang disebut Aswarya, yaitu pada saat ia melaksanakan upacara kurban. Rapal-rapal itu bukan dipakai untuk memuja para dewa, melainkan untuk mengubah kurban-kurban menjadi makanan dewa. Dengan perantara rapal-rapal itu kurban serta bahan-bahan yang dikurbankan dengan para dewa, dengan maksud supaya kurban tersebut dapat diterima. Dapat dikatakan bahwa dengan rapal-rapal itu sebenarnya para dewata dipakai untuk memenuhi keinginan yang berkurban. Dengan rapal-rapal itu mereka mencoba mempengaruhi para dewa, dengan berulang-ulang menyebut nama mereka.
d.      Atharwa-Weda, berisi mantra-mantra sakti. Mantra-mantra ini dihubungkan dengan hidup keagamaan yang rendah, seperti tampak di dalam sihir dan tenung. Isi sihir-sihir tersebut dimaksudkan untuk menyembuhkan orang sakit, mengusir roh jahat, mencelakakan musuh dan sebagainya. Upacaranya bukan diadakan untuk kurban, melainkan diadakan di rumah. Mula-mula kitab ini tidak diakui sebagai Kitab Suci, namun lama-kelamaan diakui juga, sebab kepercayaan rakyat terhadap kitab ini sangat kuat. Selain itu banyak raja yang mengambil pendeta-pendeta dari golongan ini sebagai pendeta pribadinya.

b.    Zaman Brahmana (1000-750 SM)
Pada zaman ini, kekuasaan kaum Brahmana amat besar dalam kehidupan kegamaan. Merekalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para dewa. Pada zaman ini pula mulai disusun tata cara upacara beragama yang teratur dalam apa yang kemudian disebut Kitab Brahmana. Kitab Brahmana menguraikan dan menjelaskan tentang saji dan upacaranya, apa artinya sesuatu saji, apa syarat-syaratnya, tenaga gaib apa yang tersimpul dalam upacaranya dan sebagainya (Soekmono, 1973:11). Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.
Kitab-kitab Brahmana itu berisi petunjuk mengenai peraturan agama serta penjelasan tentang arti Weda yang kerap dalam bentuk mitologi. Kitab-kitab tersebut merupakan kitab tambahan yang digolongkan sebagai kitab tafsir yang memberikan keterangan atas kiatb suci Weda (Abu Suud, 1998:56-57).
Wojowasito juga mengungkapkan bahwa isi kitab Brahmana itu merupakan teori, sistem dan peraturan yang dikarang oleh para Padri sendiri (Wojowasito, 1953:15). Dari kedua kutipan di atas jelaslah bahwa isi kitab Brahmana bukanlah Sabda Tuhan, melainkan merupakan penjabaran, pengembangan, dan penjelasan isi Weda berdasarkan penafsiran penyusunnya.
Dampak dari tersusunnya dan permasyarakatan kitab-kiatb Brahmana tersebut adalah berubahnya pandangan masyarakat terhadap dewa dan saji beserta upacaranya. Seperti telah disinggung, pada zaman Weda persembahan kepada dewa dimaksudkan untuk mendapatkan kemurah-hatian dewa yang dipuja atau untuk mendapat anugerah yang nyata dari dewa, yang erat hubungannya dengan keperluan sehari-hari, seperti kekayaan akan ternak, harta dan anak, kesehatan, hujan, berhasil dalam usaha, terhindar dari mara-bahaya dan sebagainya. Lama-kelamaan terjadi pergeseran pandangan. Lambat laun orang mulai percaya, bahwa apabila persembahan itu sudah dilakukan sesuai dengan aturan, dan diantar oleh mantra-mantra yang tepat, dewa yang dipuja pasti akan mengabulkan permohonan dari orang yang melakukan persembahan. Selanjutnya, berkembang anggapan bahwa dengan upacara dan mantra yang benar bahkan dapat memaksa dewa-dewa untuk memenuhi keinginan orang yang melakukan pemujaan. Lebih lanjut lagi timbul anggapan bahwa para dewa pun sangat tergantung pada saji. Dewa tersebut dapat hidup disebabkan karena usaha manusia yang setia menyediakan saji. Tanpa saji, tak berartilah dewa-dewa tersebut. (Soekmono, 1973:11).

c.      Zaman Upanisad (750-500 SM)
Pada zaman ini, yang dipentingkan tidak hanya upacara dan saji saja, tetapi lebih dari itu pengetahuan batin yang lebih tinggi yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Zaman ini adalah zaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu zaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada zaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak zaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.
Upanisad (Aksara Dewanagari: उपनिषद्, IAST: upaniá¹£ad) termasuk dalam Sruti merupakan bagian dari Veda, di samping sastra-sastra Brahmana. Upanisad memuat ajaran filsafat, meditasi serta konsep ketuhanan.
Upanisad disusun dalam jangka waktu yang panjang, upanisad yang tertua di antaranya Brhadaranyaka Upanisad dan Chandogya Upanisad, diperkirakan disusun pada abad kedelapan sebelum masehi. Merujuk pada Ashtadhyayi yang disusun oleh Maharsi Panini, jumlah upanisad yang ada sebanyak 900. Begitu pula Maharsi Patanjali menyatakan jumlah yang sama. Namun saat ini kebanyakan sudah musnah seiring dengan waktu.

d.    Zaman Buddha
Zaman ini dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama Sidharta menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.





2.1. Agama Buddha
Agama Buddha merupakan perkembangan lebih lanjut dari agama Hindu. Buddha sebenarnya merupakan sebutan bagi seseorang yang telah memperoleh pencerahan. Hal itu sesuai dengan asal kata Buddha itu sendiri: dari bahasa India berarti yang mencapai pencerahan sejati. Awalnya agama Buddha bukanlah agama, melainkan agama dari seseorang yang telah memperoleh pencerahan bernama Siddartha Gautama.
Pangeran Siddartha adalah anak dari raja beragama Hindu dari suku Sakya bernama Suddhodana dan ratu Maha Maya Dewi. Sebagai anak raja, ia dilimpahi kemewahan. Ia dilahirkan pada tahun 563 SM. Oleh para pertapa, diramalkan Sang Pangeran kelak akan menjadi entah seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau menjadi seorang Buddha. Konon, Raja Suddhodana sedih mendengar ramalan tersebut. Sebab, bila sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi takhta. Untuk mencegah terjadinya ramalan itu, para pertapa menyarankan agar sang Pangeran jangan sampai melihat orang tua, orang sakit, orang mati, dan seorang pertapa. Itu berarti tidak diperkenankan keluar istana.
Suatu hari di usianya yang ke-29, Siddartha menyelinap keluar dari istana, ditemani oleh seorang kusir. Dalam perjalanan, ia bertemu pengemis, orang tua, orang sakit, dan orang meninggal, suatu pengalaman yang tak pernah ia jumpai sebelumnya. Ia berpikir, ‘mengapa itu semua terjadi?’ ‘apakah yang dapat membebaskan manusia dari semuanya itu?’. Untuk mencari jawabannya, ia memutuskan untuk keluar dari istana dan berkelana sebagai pertapa.
Suatu saat, sampailah ia di Kota Bodh Gaya dan beristirahat di bawah pohon Bodhi. Di tempat ini, pada saat bulan purnama bulan Wai-sakha (April-Mei), ia memperoleh jawaban atas pertanyaan itu, yang dilukiskan sebagai Pencerahan dan Kesadaran Sempurna. Apakah kesadaran yang sempurna itu?
Buddha menemukan bahwa hidup ini adalah penderitaan (ketidakpuasan). Penderitaan atau pengalaman ketidakpuasan itu disebabkan oleh nafsu keinginan (keserakahan), ketidaksukaan (kebencian), dan kebodohan (kegelapan, kurangnya kebijaksanaan). Ada keadaan damai di mana tidak ada penderitaan atau pengalaman ketidakpuasan, yaitu yang disebut Pencerahan atau Nirwana. Dengan Pencerahan manusia bisa bebas dari dari penderitaan atau perasaan ketidakpuasan. Namun, pencerahan itu dapat dicapai hanya dengan melakukan dan menghayati delapan jalan mulia (delapan jalan kebenaran), yaitu: Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perilaku Benar, Penghidupan Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar, dan Konsentrasi Benar.
Sepeninggal Buddha, para penganutnya menyebarkan ajarannya dan lahirlah agama Buddha, dengan Kitab Suci Tripitaka. Agama ini berkembangan sangat pesat di India di bawah Raja Ashoka, semula beragama Hindu, dari Dinasti Maurya. Ia menyebarkan banyak pendeta Buddha ke seluruh wilayah kekuasaannya, bahkan sampai di luar wilayah kerajaan.

2.1.1 KESADARAN DALAM KONSEP BUDDHISME
Dalam agama Buddha manusia tersusun atas jasmani (rupa) dan batin (nama). Jasmani adalah wujud tubuh kita yang tampak, seperti tangan, kepala, otak dan organ tubuh lainnya hingga susunan sel yang ‘hidup’. Batin terdiri dari kesadaran, pikiran, perasaan dan persepsi. Di dalam ajaran Buddha kesadaran dikenal sebagai winyana (vinnana). Teks-teks Komentar Tripitaka yang belakangan dibuat oleh para ahli buddhis tentang kesadaran malah membagi kesadaran (pikiran) ke dalam berbagai bentuk yang lebih sistematis. Di dalam ajaran Buddha, kesadaran memegang peranan yang paling fundamental karena berperan penting atas pengendalian pikiran sehingga kehendak atau niat-niat yang negatif tidak muncul. Dengan pelatihan mental yang ditawarkan dalam bentuk perenungan dan meditasi, kesadaran seseorang akan semakin besar sehingga setiap tindakan yang dilakukan pikiran ataupun tubuh, akan menjadi kebiasaan yang berulang-ulang tertanam dalam memori otak yang merupakan pandangan hidup seseorang.
2.1.2 MEDITASI SEBAGAI PENGENDALI KESADARAN
Sidhartha Gautama, Sang Buddha adalah orang (ilmuwan) pertama yang menjadikan studi serta pengendalian atas kesadaran dan pikiran. Pelatihan dalam bentuk meditasi buddhis yang khas adalah sebuah jalan yang ditawarkan oleh Buddha atas pengendalian pikiran dan kesadaran. Sampai saat ini meditasi masih menduduki posisi penting dalam agama Buddha dan selama sekitar 2500 tahun sejak Sang Buddha wafat berbagai metode meditasi pun lahir.
Jika dikelompokkan, meditasi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu meditasi konsentrasi dan meditasi kesadaran. Meditasi konsentrasi adalah suatu cara mengarahkan pikiran agar berkonsentrasi hanya pada suatu objek tunggal. Sedangkan meditasi kesadaran adalah meditasi yang selalu sadar untuk menyadari apa yang sedang dilakukan pikiran, namun tidak berkonsentrasi pada suatu objek yang sedang dipikirkan. Meditasi Samatha dan Samadhi dalam Buddhisme Tibet termasuk kategori meditasi konsentrasi. Sedangkan meditasi vipassana dan meditasi kekosongan dalam Zen bisa dikategorikan sebagai meditasi kesadaran.
Penelitian ilmuwan menunjukkan bahwa seseorang yang sedang meditasi berada dalam gelombang alfa. Artinya bahwa seseorang yang sering melatih meditasinya, akan mudah menenangkan dirinya ketika ada respon yang akan membuatnya cemas atau gelisah. Pada beberapa meditator juga ditemukan gelombang theta yang biasanya terukur hanya pada saat awal-awal tidur sebelum otak menuju gelombang delta yang sangat tenang yang muncul ketika tidur nyenyak. Jadi bisa dikatakan bahwa semakin dalam seseorang bermeditasi, gelombang yang terukur di otaknya akan semakin rendah atau menuju keadaan istirahat (seperti dalam tidur), walau sadar sepenuhnya.










BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan

Jadi dapat disimpulkan bahwa Agama dan kebudayaan Hindu dan Buddha masuk ke Indonesia (Nusantara) dari India masing-masing sekitar abad ke-4 dan ke-5 M. Agama dan kebudayaan Islam muncul belakangan (abad ke-7 M), dan baru berkembang pesat mulai sekitar abad ke-13 M.Agama Hindu asal usul agama Hindu di dunia dimulai dari masuknya Bangsa Arya ke India sejak 1500 SM.Ada Beberapa Fase perkembangan agama hindu meliputi:
1.      Zaman Weda.
2.      Zaman Brahmana.
3.      Zaman Upanisad.
4.      Zaman Budha.
Agama Buddha merupakan perkembangan lebih lanjut dari agama Hindu. Buddha sebenarnya merupakan sebutan bagi seseorang yang telah memperoleh pencerahan.Asal kata Budha berasal dari bahasa india yang berarti “ mencapai pencerahan sejati”. Dalam agama Buddha manusia tersusun atas jasmani (rupa) dan batin (nama). Jasmani adalah wujud tubuh kita yang tampak, seperti tangan, kepala, otak dan organ tubuh lainnya hingga susunan sel yang ‘hidup’.



DAFTAR PUSTAKA

1.      Wojowasito. 1953. Sejarah Kebudayaan Indonesia, India Zaman Purbakala. Jakarta : Siliwangi.
2.      Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia  2. Jakarta : Yayasan Kanisius.
3.      Hadiwijono, Harun. 1982. Agama Hindu dan Budha. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
http://kisahasalusul.blogspot.com/2014/07/asal-usul-lahirnya-agama-hindu-di-dunia.html
http://hinduismedila.blogspot.co.id/2012/11/periodisasi-sejarah-agama-hindu-zaman.html
http://imadegunawan.blogspot.co.id/2015/04/perkembangan-agama-hindu-pada-zaman.html
http://tentanghinduisme.blogspot.co.id/2012/12/periodisasi-sejarah-agama-hindu-zaman_17.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Upanisad
https://willyyandi.wordpress.com/2010/02/28/evolusi-kesadaran-menuju-pencerahan/















Previous
Next Post »
Thanks for your comment